Memanfaatkan Peluang Berdamai dalam Kepingan Hati Yang Terluka (Sepenggal Kisah Mediasi Pelaku Poligami) | Oleh: Dr. M. Yusuf, S.H.I., M.H (30/08/2024)
Memanfaatkan Peluang Berdamai dalam
Kepingan Hati Yang Terluka
(Sepenggal Kisah Mediasi Pelaku Poligami)
Oleh :
Dr. M. Yusuf, S.H.I, M.H
Pengadilan Agama Sengeti
Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Sudah 13 tahun yang lalu telah diterbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Di tahun itu juga Hakim Kampung sebut saja namanya Mak Malin pertama kali dilantik sebagai hakim di Pengadilan Agama tepatnya di Pengadilan Agama Pandan, sebuah kota kecil di Propinsi Sumatera Utara. Telah diperbarui pula Perma Nomor 1 Tahun 2008 itu dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016.
Telah terbit pula Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 108/KMA/SK/VI/2016 tanggal 17 Juni 2016 tentang Tata Kelola Mediasi di Pengadilan. Namun Mak Malin masih belum “ngeh” dan masih menganggap mediasi hal biasa saja sebagai sebuah proses yang mesti dilalui dalam penanganan perkara di pengadilan.
Tetapi hari itu hari Sabtu tanggal 12 Juni 2021 adalah kilas balik Mak Malin taubat dari pola pikirnya selama ini. Hari itu Mak Malin mendengar paparan seorang mediator hakim di Pengadilan Agama. Namanya Dr. Hasan Nul Hakim, S.H.I, M.H (Hakim PA Dumai), Hasan Nul Hakim kala itu memberikan pencerahan dan berbagi pengalamannya dalam memediasi dalam sebuah acara yang dikemas Badilag “Ngaji Bareng Ditjen Badilag: Kiat Sukses Mediasi”. Walaupun Mak Malin mendengar pemaparan mediator ulung tersebut sambil menyetir Sengeti-Pariaman dan durasi acara itu berlangsung 3,5 jam non stop, Mak Malin tetap mengikuti dengan serius lewat headphonenya.
Setelah acara itu Mak Malin tersentak, Mak Malin terjaga dari tidurnya dan merasa “tertampar” dengan kebodohannya memahami mediasi selama ini. Mak Malin selama ini menganggap mediasi hanya proses biasa, mau gagal atau berhasil mediasi dia tidak peduli, mau berdamai para pihak itu atau tidak Mak Malin juga tidak ambil pusing. Hal yang membuat selama ini Mak Malin merasa bersalah adalah ternyata dia belum serius memediasi sebuah perkara, Ia dari awal sudah pesimis ketika memediasi sebuah perkara akan ber-ending damai, Ia juga tidak memahami bagaimana seharusnya mediator memimpin proses negoisasi, Mak Malin itu juga baru tau bagaimana proses kaukus dalam mediasi berperan penting dalam keberhasilan mediasi. Malah suatu kali sebelum memediasi perkara, Mak Malin itu sudah mencetak blanko pernyataan mediasi tidak berhasil ketika pertama memasuki ruang mediasi. “Ya Allah betapa bodohnya saya”, teriak Mak Malin itu selesai mengikuti “Ngaji Bareng Ditjen Badilag : Kiat Sukses Mediasi” saat itu.
Mak Malin kemudian menelusuri laporan di menu mediasi yang ada di Sistem Informasi Penulusuran Perkara (SIPP). Ternyata sejak awal tahun 2021 Mak Malin telah memediasi 13 perkara, namun tidak satupun yang berhasil, keberhasilannya memediasi bernilai 0 %. Mak Malin merenung kenapa selama ini Ia menyia-nyiakan ladang amal dalam mendamaikan para pihak di proses mediasi. Kenapa Ia tidak mempelajari cara-cara mediasi yang benar, kenapa Mak Malin tidak mendalamai bahwa walaupun tidak bisa mendamaikan para pihak dalam sebuah perkara inti misalnya perceraian, namun masih terbuka kesempatan mendamaikan meraka dalam hal-hal yang memungkinkan mereka nantinya bersengketa, misalnya dalam masalah anak, nafkah madhiyah, nafkah iddah, harta bersama, dsb, sehingga mediasi bisa berhasil sebagian.
Setelah paparan Dr. Hasan Nul Hakim, S.H.I, M.H dalam acara itu, akhirnya Mak Malin bertekad bahwa kesalahan masa lalunya tidak akan dia ulang, Dia bertekad akan berusaha maksimal mendamaikan para pihak, tidak boleh pesimis dalam memediasi, tidak akan dia ulang lagi menyiapkan blanko mediasi tidak berhasil sebelum mediasi dimulai. Mak Malin yakin selama ini kelalaian dia lah yang membuat mediasi tidak berhasil, bukan para pihak berperkara. Dia bertekad andai dia dipercaya lagi oleh para pihak dan majelis hakim sebagai mediator hakim, Mak Malin akan memaksimalkan usahanya memediasi para pihak, sefokus mungkin dia akan mendalami masalah mereka dan mencarikan solusi terbaik yang akan memberikan win-win solution buat mereka.
Tak beberapa lama setelah itu, keinginan kuat Mak Malin itu akhirnya berhadapan dengan perkara sulit, karena berkaitan dengan masalah “hati” seorang perempuan. Mak Malin menerima Penunjukan Mediator perkara Cerai Gugat Nomor 299/Pdt.G/2021/PA.Pn. Dalam kasus itu isteri menuntut cerai karena suami telah menikah lagi. Suami sebut saja namanya Parjo dan si isteri sebut saja namanya Sri. Sri merasa telah dikhianati oleh suaminya Pajo, Sri sakit hati, apalagi perempuan lain yang dinikahi suaminya tidak beberapa jauh jaraknya dari kampung mereka tinggal selama ini. Sejak memasuki ruang mediasi Mak Malin berdo’a semoga saja ada jalan keluar dari mereka yang berujung utuhnya rumah tangga mereka.
Andaikan persepsi Mak Malin itu seperti yang dulu, dimana mediasi adalah proses biasa saja, dan tidak memandang arti penting perdamaian melalui mediasi, Mak Malin itu sudah hampir pasti menyerah dan akan menyatakan mediasi tidak berhasil, dan sangat mendukung perempuan yang telah dipoligami liar oleh suaminya ini menuntut cerai. Namun saat itu persepsi Mak Malin telah berobah, Mak Malin harus menyelamatkan keluarga ini, mereka harus didamaikan agar tidak jadi bercerai.
Dalam proses Pra Mediasi Mak Malin memulai dengan memperkenalkan diri, menjelaskan manfaat mediasi, tujuan mediasi, dan urgensi hasil kesepakatan mediasi sebagai hukum ter-adil bagi para pihak yang bersengketa, karena kesepakatan mediasi adalah bersumber dari mereka sendiri, bukan dari orang lain, hakim sekalipun. Bahkan dalam tahap Pra Mediasi ini Mak Malin malah harus menyampaikan bahwa yang dihadapan mereka adalah ketua pengadilan dimana mereka bersengketa saat ini. Mereka diyakinkan oleh Mak Malin bahwa mereka tidak salah dalam memilih mediator. Mak Malin melakukan semua itu karena teringat statement dari Hasan Nul Hakim dalam Ngaji Bareng saat itu : “Mediator harus optimis, mediator harus percaya diri, para pihak harus yakin bahwa mediator bisa dipercaya dan berkompeten”.
Selanjutnya Mak Malin mulai mendalami apa masalah sebenarnya yang menjadi alasan Sri menuntut cerai. Dengan suara serak Sri menyampaikan bahwa dia sakit hati, dia kecewa dengan suaminya Parjo yang telah menikah lagi, dia tidak mau dimadu. Dengan berlinang air mata Sri mengatakan bahwa dia lebih baik mundur, biarlah dia bercerai dari pada cintanya diduakan. Sampai disini Mak Malin tidak bisa berkata-kata. Mak Malin merasa bahwa apa yang dirasakan Sri mewakili perasaan hampir semua wanita.
Ketika giliran Parjo bercerita, Parjo tidak membantah bahwa dia telah menikah lagi, ia akui dengan sejujurnya bahwa dia telah terikat perkawinan sirri dengan perempuan lain. Dia sudah terlanjur berjanji dengan perempuan lain yang akhirnya ia nikahi secara sirri, dia juga ngak tega menyakiti hati isteri barunya. sebelum menikah dengan yang baru, ia jujur dengan mengakui bahwa ia adalah suami dari Sri.
Selanjutnya Parjo bercerita bahwa isteri barunya sadar kalau dia adalah yang kedua, sebagai yang kedua sebelum dinikahi ia berjanji ngak akan neko-neko. Disini Parjo berusaha meyakinkan Sri yang berada disisi kanan Mak Malin bahwa Sri tidak usah menuntut cerai, dia adalah yang pertama, dia adalah ibu dari anak-anaknya, isteri kedua tidak akan mengganggunya. Dalam penegasan terakhirnya ia tidak bersedia bercerai dengan Sri, makanya ia mati-matian hadir ke persidangan, walaupun alamatnya ke pengadilan agama memakan waktu 5 jam perjalanan darat. Dengan wajah memelas Parjo mohon kepada Mak Malin untuk bisa membujuk Sri isterinya, dia tidak mau “diceraikan” isterinya, dia tetap akan memelihara anak-anak mereka bersama.
Mak Malin setelah mendengar paparan Parjo agak kesal juga, walaupun tidak ditunjukkan di hadapan para pihak yang dia mediasi. Dia bergumam “Parjo ini mau enaknya aja, dengan yang pertama ngak mau pisah, dengan yang kedua juga ngak mau cerai, enak sekali”…bisik Mak Malin. Namun Mak Malin kembali teringat paparan dari Dr. Hasan Nul Hakim, bahwa seorang mediator harus berdiri di tengah, jangan memihak, karena itu fatal untuk keberhasilan mediasi.
Setelah Parjo diberikan kesempatan bercerita, Mak Malin kembali memberikan kesempatan kepada Sri. Sri menjawab tegas : “Saya ngak mau dimadu, kalau dia pilih yang kedua saya akan mundur, lain halnya kalau dia mau ceraikan yang kedua, saya siap mencabut gugatan ini”. Semua yang di ruangan mediasi terdiam termasuk Mak Malin. Parjo menjawab “Apakah ngak bisa sama-sama berbaikan saja dek, kenapa mesti ada yang saya ceraikan”.
Sambil mengerutkan kening Mak Malin berfikir kayaknya ini mentok. Berat sepertinya mediasi akan berhasil. Parjo tidak mau pisah dengan yang kedua, namun dengan yang pertama Parjo tetap tidak mau cerai. Disisi lain Sri juga ngotot tidak mau dimadu. Mak Malin sudah berusaha menjelaskan bagaimana sebaiknya rumah tangga mereka harus dipertahankan demi anak-anak, namun Sri tetap dengan keinginannya untuk nuntut cerai, disisi lain Parjo tetap mau berbaikan namun belum siap berpisah secepat itu dengan isteri sirrinya.
Kondisi ini mengingatkan Mak Malin dengan petunjuk Hasan Nul Hakim dalam Ngaji Bareng Badilag itu, bahwa kalau negoisasi mentok sebaiknya ditunda atau dilakukan kaukus. Mak Malin mengambil sikap untuk melakukan kaukus dengan berbicara dengan satu pihak tanpa dihadiri pihak lain. Dalam kaukus Sri kembali meluapkan kemarahannya dan ngotot untuk tetap menuntut cerai. Namun suatu kali Sri “terpeleset” bercerita bahwa sebenarnya suaminya baik, dalam hal nafkah selama ini cukup, bahkan kebun sawit selama ini yang mereka miliki yang sebagian besar harta bawaan suami justru hasilnya full dinikmati Sri, namun Sri kembali menegaskan dia tidak mau dimadu.
Mak Malin seolah dapat “senjata” bahwa Sri masih masih tetap full dinafkahi dan kebun sawit suami masih dinikmati Sri. Mak Malin memanfaatkan situasi itu dengan menjelaskan kepada Sri kalau kondisi seperti itu bagus sebenarnya buat Sri, sebab kalau Sri minta cerai malah merugikan Sri sebagai isteri pertama, harta bawaan Parjo bisa ia minta bagi, sawit bawaannya akan ia tarik, dan tentu ke depan isteri kedua Parjo yang akan menikmati. Sri terdiam…
Mak Malin melanjutkan : “Kalau seandainya ibu menggugat cerai yang berbahagia adalah isteri kedua Parjo, ia akan mengurus nikah resmi, hasil sawit yang selama ini ibu dapatkan akan hilang, ibu kehilangan suami sekaligus kehilangan hasil sawit..ibu pilih mana..Sri mulai ragu dan menatap Mak Malin..
“Emang kalau sudah kami cerai suami bisa ambil kebun sawit kami?” Tanya Sri..Bisa saja buk, apalagi harta bawaannya, harta bawaan dia akan semuanya bisa ia ambil dan yang dibeli selama perkawinan dengan ibu akan dibagi dua…jelas Mak Malin. Sri kembali terdiam. Mungkin Sri lagi berusaha berfikir lurus dengan logika, tidak dengan perasaan.
Kemudian dalam kesempatan kaukus dengan Parjo Mak Malin mendapatkan informasi bahwa selama ini ia tidak berniat untuk menduakan isterinya, kalaupun ia nikah dengan yang lain adalah karena suatu hal, Sri jarang melayaninya, bahkan bisa dikatakan tidak pernah sejak beberapa tahun terakhir, namun Parjo tidak pernah mengganggu hasil kebun sawit selama ini untuk dinikmati Sri. Kalaupun ada isteri kedua, Parjo sudah mewanti-wanti untuk tidak mengganggu apa yang didapat selama ini dengan yang Sri. Kemudian Parjo juga menjelaskan bahwa mereka sebenarnya masih saling menyayangi dan malahan dari rumah ke Pengadilan Agama masih berboncengan.
Mak Malin menimpali, “Tapi Bapak harus tau bahwa perempuan itu perlu dihargai, dia tidak hanya butuh harta tapi juga perhatian, dan yang paling penting perempuan pada dasarnya tidak mau diduakan..jelas Mak Malin. “Iya Pak..Saya tau tapi saya sudah terlanjur dan saya menyesal, bantu saya membujuk Sri”…pinta Parjo.
“Kuncinya bapak harus minta maaf sama Sri dan yakinkan dia bahwa Bapak tidak berniat menyakitinya dan akui Bapak telah bersalah dan menyakitinya..demikian timpa Mak Malin.
“Siap pak, saya akan coba..jawab Parjo.
Mak Malin berfikir untuk menyelesaikan masalah ini tidak bisa dalam waktu yang cepat. Ini persoalan hati, dan agak rumit karena berkaitan dengan pihak lain yaitu isteri kedua Parjo. Mak Malin akhirnya memberikan kesempatan kepada Parjo dan Sri untuk kembali melanjutkan mediasi pada waktu berikutnya. Namun disisi lain Mak Malin mendapat celah bahwa pasangan ini masih bisa didamaikan, mereka masih menyayangi, namun ganjalannya adalah suami telah menikah lagi.
Akhirnya setelah dilakukan beberapa kali mediasi, dan kegigihan Mak Malin membujuk isteri untuk jangan kalah dengan pelakor dan menasehati suami untuk berusaha kedepannya menjaga perasaan seorang perempuan, Sri menyatakan siap mencabut gugatannya asalkan Parjo berjanji tidak pernah membawa isteri kedua lewat dirumahnya apalagi datang dihadapannya. Parjo juga berjanji untuk tidak mengganggu hasil kebun sawit selama ini yang di serahkan kepada Sri, apalagi diserahkan kepada isteri kedua. Untuk hubungannya dengan isteri kedua biarlah urusan Parjo menyelesaikannya.
Sri juga akhirnya mengakui bahwa problem rumah tangganya ini mungkin juga akibat kelalaiannya dalam melayani Parjo, terutama urusan ranjang. Sri selama ini sering menolak bahkan menganggap urusan ranjang sudah tidak penting ketika usia sudah beranjak tua. Akibatnya Parjo yang selama ini diam akhirnya terbujuk rayu perempuan lain yang akhirnya dinikahinya. Sri berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya.
Sri dan Parjo mengakui kesalahannya masing-masing. Kondisi ini akhirnya menjadikan perkara tersebut berhasil dimediasi dengan pencabutan dimana Sri mencabut gugatan dengan perjanjian yang disepakati. Setelah selesai mediasi untuk kesekian kalinya Mak Malin melihat Sri dan Parjo keluar ruang mediasi dengan wajah sumringah. Alhamdulillah..
Mak Malin bersyukur dapat memediasi keluarga ini untuk tidak berpisah. Mak Malin sekarang paham bahwa sekecil apapun peluang untuk damai jangan pernah pesimis mediasi tidak berhasil, mediator harus gigih dalam melakukan upaya damai, iklaskan niat untuk membantu para pihak. Seorang mediator harus memahami masalah yang dihadapi para pihak, mediator harus independen dan tidak memihak, dan mediator harus diyakini oleh para pihak sebagai orang yang amanah. Selain itu mediator harus suka dengan perdamaian. Semangat seperti ini akan menular kepada para pihak sehingga mereka akan berusaha mencari solusi untuk masalah mereka sendiri.
Sengeti, Agustus 2024